tiga dari enam teman dekat saya di kampung halaman nggak seatap sama their husband. beda kota. karena kerjaan. dan saya juga bakal begitu sementara waktu setelah menikah nanti.
itu merana loh. kata saya. kata Dewik, S.Psi juga.
sebenernya pengen ikut dimana husband berada. tapi kami yang baru jadi civil servant ini sudah terikat janji untuk tidak pindah tugas dalam kurun wakktu tertentu. saya enam tahun (sekarang sudah menjalani hampir dua tahun diantaranya). lalu, jikalaupun sudah boleh pindah, ada prosedur-prosedur yang nggak gampang ditembus.
kalau alasan temen saya yang ibu rumah tangga murni, dia masih numpang di rumah orang tuanya sekarang karena suaminya di sana masih mulai merintis karir dan belum punya penghasilan yang memadai untuk membiayai kehidupan bersama.
setiap orang punya alasan masing-masing,, juga keirian tersendiri melihat other couple bisa hidup bareng seneng-seneng.
sepertinya mereka sempurna gitu.
punya rumah dengan kendaraan sendiri. menunjukkan kemapanan. punya satu dua anak yang bikin hidup makin seru.
heeyyyyyyy..........
tapi saya tahu beberapa fakta
tentang ibu muda backpacker yang jadi idola saya jaman internship di jakarta dulu.
semuanya yang ssaya lihat dari dia: perfecto. hingga pada suatu hari saya tahu bahwa beliau musti menjalani terapi yang menyakitkan karena ada sesuatu yang abnormal dalam sistem reproduksinya.
tentang sepupu saya yang ganteng. menikah dengan wanita cantik dengan nasab yang keren (kiai, kaya, punya pesantren). sepupu saya sudah mapan banget. punya usaha yang sukses, kendaraan pribadi beroda empat, dan beberapa bulan lalu dikaruniai seorang malaikat kecil. how perfect their life should be. sempurna, namun tak bahagia. sebentar lagi mereka berpisah. cerai. karena ternyata wanita cantik itu tidak cukup punya inner beauty sebagai salah satu tiang penting dalam berumah tangga.
maka bukan kesempurnaan yang menjadi tujuan. tapi kebahagiaan.
dan kebahagiaan itu bersumber dari syukur.
keikhlasan atas apa-apa yang dimiliki, atas apa-apa yang masih jadi mimpi, pun atas yang nggak dipunyai.
itu merana loh. kata saya. kata Dewik, S.Psi juga.
sebenernya pengen ikut dimana husband berada. tapi kami yang baru jadi civil servant ini sudah terikat janji untuk tidak pindah tugas dalam kurun wakktu tertentu. saya enam tahun (sekarang sudah menjalani hampir dua tahun diantaranya). lalu, jikalaupun sudah boleh pindah, ada prosedur-prosedur yang nggak gampang ditembus.
kalau alasan temen saya yang ibu rumah tangga murni, dia masih numpang di rumah orang tuanya sekarang karena suaminya di sana masih mulai merintis karir dan belum punya penghasilan yang memadai untuk membiayai kehidupan bersama.
setiap orang punya alasan masing-masing,, juga keirian tersendiri melihat other couple bisa hidup bareng seneng-seneng.
sepertinya mereka sempurna gitu.
punya rumah dengan kendaraan sendiri. menunjukkan kemapanan. punya satu dua anak yang bikin hidup makin seru.
heeyyyyyyy..........
tapi saya tahu beberapa fakta
tentang ibu muda backpacker yang jadi idola saya jaman internship di jakarta dulu.
semuanya yang ssaya lihat dari dia: perfecto. hingga pada suatu hari saya tahu bahwa beliau musti menjalani terapi yang menyakitkan karena ada sesuatu yang abnormal dalam sistem reproduksinya.
tentang sepupu saya yang ganteng. menikah dengan wanita cantik dengan nasab yang keren (kiai, kaya, punya pesantren). sepupu saya sudah mapan banget. punya usaha yang sukses, kendaraan pribadi beroda empat, dan beberapa bulan lalu dikaruniai seorang malaikat kecil. how perfect their life should be. sempurna, namun tak bahagia. sebentar lagi mereka berpisah. cerai. karena ternyata wanita cantik itu tidak cukup punya inner beauty sebagai salah satu tiang penting dalam berumah tangga.
maka bukan kesempurnaan yang menjadi tujuan. tapi kebahagiaan.
dan kebahagiaan itu bersumber dari syukur.
keikhlasan atas apa-apa yang dimiliki, atas apa-apa yang masih jadi mimpi, pun atas yang nggak dipunyai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar