Selasa, Agustus 05, 2025

Sandal Jepit dan Gincu Merah Jambu

Editor : Kak Aisyah Elzahracademy

Ada yang lebih seru dari drama Korea: tontonan drama kehidupan yang tersaji di depan mata.

Sepulang dari surau sore tadi, aku melihat kaki Mak Tijah semakin jelek saja. Tumitnya yang pecah-pecah seperti sawah kekeringan kini tampak bengkak. Bakiak yang biasanya ia pakai telah berganti menjadi sandal jepit kuning norak. Si sandal tampak bersungut-sungut.
Sementara itu, di saku daster Mak Tijah menyembul pemulas bibir yang entah sejak kapan dimilikinya. Bukan merah cabe—warnanya merah jambu.

“Narto memang kebangetan,” geram si Sandal Jepit Kuning Norak. “Bisa-bisanya aku dia kasih ke istrinya. Harusnya aku jadi sandalnya gadis-gadis, bisa ngemall, main yang seru-seru, bukannya cuma jadi teman saat ke kamar mandi dan pergi ke surau.”

“Hihihi... Kamu pengen seru-seruan, Pit? Aku bisa bantu, lho!” tukas si Gincu Merah Jambu.

“Bisa apa kamu? Kamu mau nempel di bibir si Tijah dan minta si Narto antar dia hore-hore? Mimpi!!”

“Ish... jangan _underestimate_ gitu dong sama aku. Nanti aku atur deh buat kamu. Hihihihi...”

Mak Tijah bergegas menyiapkan makan malam. Harusnya malam ini Narto pulang selepas mengirim satu truk cabai ke pelabuhan. Ia membersihkan rumah seperti biasanya—hanya saja kali ini langkahnya agak pincang. Ia bilang pada tetangga bahwa asam uratnya kambuh, walau mereka tahu itu bukan alasan yang sebenarnya.

Gincu merah jambu masih di saku, lalu terjatuh saat Mak Tijah meraih kemoceng di ruang tamu. Ia menggelinding.

“Mak Tijah, nih tas Narto ada di bawah buffet.”

Sandal jepit menyimak dari depan pintu. “Tahu dari mana kamu, Cu? Aku aja yang di bawah sini nggak kelihatan tuh.”

“Hihihi... Ada deh. Yang penting habis ini kita seru-seruan.”

Mak Tijah merogoh kolong lemari. Pantas saja sejak pergi kemarin lusa, suaminya tidak berkabar. Ternyata tas dan gawainya tertinggal. Ia merasa bersalah telah memprasangkai suaminya macam-macam. Namun wajah Mak Tijah berubah aneh—memucat sekaligus memerah—saat gawai suaminya yang mati kehabisan daya ia nyalakan.
Suaminya tidak pulang hari ini. Dia ada janji.

“Pit, siap-siap. Ayo seru-seruan!”

Sandal jepit belum sempat menjawab, kaki Mak Tijah sudah mengajaknya berlari.

“Nahhh... gini dong maaakkk,” seru si Sandal Jepit. “Jangan lemes aja bawaannya!”

“Hahahahaha...” Gincu terguncang-guncang di saku jaket Mak Tijah.

“Kamu ngapain ikut sih, Cu? Bukannya duduk manis aja di meja rias?”

“Kan aku juga pengen pulang, Pit...! Yey!”

Hempasan angin dan bising knalpot menjadi latar suara malam itu. Mak Tijah sedang berboncengan dengan seseorang—bukan Narto. Mungkin pembalap.

Sandal jepit tidak peduli. Yang penting saat ini, dia senang bisa melihat gedung-gedung, tawa orang-orang, hiruk-pikuk, lampu warna-warni. Diam-diam, ia mengagumi Gincu Merah Jambu.

Sandal jepit turun dari motor, melangkah cepat. Ia mendengar musik berdentum-dentum.
Tanpa diduga, ia terlepas dari kaki Mak Tijah dan menempel pada sesuatu yang lembut, wangi, dan bibir bergincu merah jambu.

Ribut. Ribut. Ribut.
Bising sirene menambah keseruan. Tahu-tahu, sandal jepit masuk kantong plastik polisi—katanya jadi barang bukti.
Mak Tijah menunjuk-nunjuk Narto dengan Gincu Merah Jambu di tangannya. Ia tak bisa dengar jelas suaranya. Tapi... itu seru.

Tidak ada komentar: