Di masa ini, adakah yang tidak memanfaatkan jalan raya? Rasanya hampir mustahil. Kita berangkat kerja lewat jalan raya, anak sekolah lewat jalan raya. Ambulans, truk sembako, ojol, bahkan bocil dengan sepeda listrik, semuanya bertemu di ruang yang sama : aspal.
Pembangunan infrastruktur jalan terus dilakukan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat panjang jalan aspal di Indonesia tahun 2024 mencapai 377.454 km, bertambah 18,39% dibanding tahun 2023 yang hanya sepanjang 318.822 km. BPS juga mencatat ada sebanyak 157.080.504 unit kendaraan bermotor (mobil, bus, truk, dan sepeda motor) yang lalu lalang di jalanan Indonesia di tahun 2023, di mana 24 juta kendaraan di antaranya merupakan kendaraan Jawa Timur. Jumlah yang sangat luar biasa. Jumlah kendaraan bermotor ini belum termasuk kendaraan listrik yang belakangan menjadi primadona. Teknologi hadir semakin memanjakan pengguna. Adanya GPS (Global Positioning System), dash cam, sensor parkir, dan kehadiran motor listrik membuat berkendara semakin hari terasa semakin mudah.
Masalahnya, jalan raya bukan cuma soal bisa menggerakkan kendaraan maju mundur cantik. Jalan raya adalah ruang bersama, penuh aturan, etika, dan risiko. Sementara itu, pengguna jalan – yang telah memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM) pun, tidak sedikit yang ugal-ugalan di jalan. Ugal-ugalannya kalem : tidak pakai helm saat jarak tempuh dekat, menerobos lalu lintas saat jalanan sepi, melawan arus sedikit, bonceng tiga biar seru. Tidak heran, data pada Pusiknas Polri menunjukkan 95% kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh kelalaian manusia, 5% lainnya disebabkan oleh kondisi kendaraan, jalan, dan alam (kabut, banjir, dll).
Dari mana kita bisa memahami aturan, etika, dan risiko lalu lintas? Sesungguhnya saya pribadi juga bertanya-tanya. Pendidikan berlalu lintas nyaris absen dari kurikulum formal. Sebagian pengetahuan rambu-rambu lalu lintas merupakan ilmu yang saya dapat saat sekolah dasar. Tidak ada kelas untuk menjadi pengguna jalan yang bertanggung jawab. Pengetahuan hanya diwariskan dari generasi ke generasi, yang sayangnya, tidak utuh dan belum tentu benar.
Andai saja literasi berlalu lintas diperlakukan seperti literasi membaca dan berhitung. Pendidikan keselamatan jalan raya bisa masuk ke kurikulum sekolah. Bukan sekedar teori, tetapi praktik mengenal rambu sejak dini, memahami hak pejalan kaki, empati di jalan, dan simulasi sederhana berkendara yang aman. Jika kurikulum terasa berat, ekstrakurikuler bisa jadi alternatif untuk mencetak pengguna jalan beradab.
Namun, meski kelak masuk kurikulum, sudah barang tentu saya tidak akan belain sekolah lagi. Bagi saya yang sudah terlanjur hobi belok kiri jalan terus, RESET dimulai dengan berhenti menormalisasi pelanggaran kecil, sabar di jalan, dan membaca doa sebelum berkendara – agar selamat sampai di tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar