Sabtu, Agustus 30, 2025

My Ikigai

Finally i found my ikigai : nulis.
Belajar nulis dengan pakar, membuatku jauh lebih bersemangat. Ternyata hal yang kusukai dari dulu, memang semenarik itu bila tau ilmunya.
Nulis aja dulu, baca buku dua biji sebulan (nanti deh aku manajemen lagi waktunya, butuh satu buku fiksi dan satu buku non fiksi. Bisa pinjem, nggak harus beli).

Agustus ini sedang dalam proses penerbitan buku perdanaku. Belum ISBN, masih QRBCN, namun sungguh itu membuatku lebih percaya diri. Suatu hari buku soloku akan menghias rak best seller di toko buku. Amin.

Terimakasih banyak untuk guru menulisku : kak Aisyah El Zahra

Selasa, Agustus 12, 2025

The Little Mada

Little Mada sedang sakit, diare dan demam.  Susah banget minum obat, satu-satunya obat yang bisa dia minum hanya obat batuk rasa stoberi.  

Yang aku salut padanya, dia semacam kuat dengan penderitan.  Menanggung semua sendiri, tanpa mengeluh, tanpa rewel.  Bikin Aku yang dewasa ini kasihan, sekaligus bersyukur, berterimakasih. Dan akhirnya aku merasakan hari dimana anakku seperti anak pada umumnya : nggak pecicilan.  Wkwkwkwk. 

Namun, jujur, mending anak sehat pecicilan meski dia kelihatan beda dari yang lain daripada anak kelihatan normal tapi sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.

Semoga sehat terus yaaaa

Minggu, Agustus 10, 2025

Home

Aku ingin jadi rumah
Aku ingin jadi tempat pulang
Aku ingin hatiku– bila sedang keras, Allah mudahkan untuk menjadi lunak
Aku ingin reaksiku, punya sedikit jeda 

Terimakasih Aku, sudah selalu berusaha menemukan kembali kunci pintu yang terjatuh, bahkan mungkin hilang

Selasa, Agustus 05, 2025

Sandal Jepit dan Gincu Merah Jambu

Editor : Kak Aisyah Elzahracademy

Ada yang lebih seru dari drama Korea: tontonan drama kehidupan yang tersaji di depan mata.

Sepulang dari surau sore tadi, aku melihat kaki Mak Tijah semakin jelek saja. Tumitnya yang pecah-pecah seperti sawah kekeringan kini tampak bengkak. Bakiak yang biasanya ia pakai telah berganti menjadi sandal jepit kuning norak. Si sandal tampak bersungut-sungut.
Sementara itu, di saku daster Mak Tijah menyembul pemulas bibir yang entah sejak kapan dimilikinya. Bukan merah cabe—warnanya merah jambu.

“Narto memang kebangetan,” geram si Sandal Jepit Kuning Norak. “Bisa-bisanya aku dia kasih ke istrinya. Harusnya aku jadi sandalnya gadis-gadis, bisa ngemall, main yang seru-seru, bukannya cuma jadi teman saat ke kamar mandi dan pergi ke surau.”

“Hihihi... Kamu pengen seru-seruan, Pit? Aku bisa bantu, lho!” tukas si Gincu Merah Jambu.

“Bisa apa kamu? Kamu mau nempel di bibir si Tijah dan minta si Narto antar dia hore-hore? Mimpi!!”

“Ish... jangan _underestimate_ gitu dong sama aku. Nanti aku atur deh buat kamu. Hihihihi...”

Mak Tijah bergegas menyiapkan makan malam. Harusnya malam ini Narto pulang selepas mengirim satu truk cabai ke pelabuhan. Ia membersihkan rumah seperti biasanya—hanya saja kali ini langkahnya agak pincang. Ia bilang pada tetangga bahwa asam uratnya kambuh, walau mereka tahu itu bukan alasan yang sebenarnya.

Gincu merah jambu masih di saku, lalu terjatuh saat Mak Tijah meraih kemoceng di ruang tamu. Ia menggelinding.

“Mak Tijah, nih tas Narto ada di bawah buffet.”

Sandal jepit menyimak dari depan pintu. “Tahu dari mana kamu, Cu? Aku aja yang di bawah sini nggak kelihatan tuh.”

“Hihihi... Ada deh. Yang penting habis ini kita seru-seruan.”

Mak Tijah merogoh kolong lemari. Pantas saja sejak pergi kemarin lusa, suaminya tidak berkabar. Ternyata tas dan gawainya tertinggal. Ia merasa bersalah telah memprasangkai suaminya macam-macam. Namun wajah Mak Tijah berubah aneh—memucat sekaligus memerah—saat gawai suaminya yang mati kehabisan daya ia nyalakan.
Suaminya tidak pulang hari ini. Dia ada janji.

“Pit, siap-siap. Ayo seru-seruan!”

Sandal jepit belum sempat menjawab, kaki Mak Tijah sudah mengajaknya berlari.

“Nahhh... gini dong maaakkk,” seru si Sandal Jepit. “Jangan lemes aja bawaannya!”

“Hahahahaha...” Gincu terguncang-guncang di saku jaket Mak Tijah.

“Kamu ngapain ikut sih, Cu? Bukannya duduk manis aja di meja rias?”

“Kan aku juga pengen pulang, Pit...! Yey!”

Hempasan angin dan bising knalpot menjadi latar suara malam itu. Mak Tijah sedang berboncengan dengan seseorang—bukan Narto. Mungkin pembalap.

Sandal jepit tidak peduli. Yang penting saat ini, dia senang bisa melihat gedung-gedung, tawa orang-orang, hiruk-pikuk, lampu warna-warni. Diam-diam, ia mengagumi Gincu Merah Jambu.

Sandal jepit turun dari motor, melangkah cepat. Ia mendengar musik berdentum-dentum.
Tanpa diduga, ia terlepas dari kaki Mak Tijah dan menempel pada sesuatu yang lembut, wangi, dan bibir bergincu merah jambu.

Ribut. Ribut. Ribut.
Bising sirene menambah keseruan. Tahu-tahu, sandal jepit masuk kantong plastik polisi—katanya jadi barang bukti.
Mak Tijah menunjuk-nunjuk Narto dengan Gincu Merah Jambu di tangannya. Ia tak bisa dengar jelas suaranya. Tapi... itu seru.

Senin, Agustus 04, 2025

Majikan Berbulu

Senin lagi nih. Belum apa-apa aku udah capek banget bawaannya.  Udah punya beberapa rincian tugas dari atasan yang minggu ini harus aku beresin.  Bulan kemarin aku dapat lencana Employee of The Month, awalnya aku bangga, tapi sekarang aku merasa itu cuma akal-akalan Bos Besar agar karyawannya tetap termotivasi dengan segala drama yang ada disini.  Jadi kacung aja capek, apalagi kalau aku jadi Bos ya? Mikirin kerjaan anak buah, finansial kantor, dan rupa-rupa dinamika kehidupan. Pasti lebih capek.  Aku mencoba menenangkan diri, menyiapkan mental sambil bersiap.  Kupersembahkan senyum terbaikku di depan cermin.  Semangat yuk!!!

TIN! TIN!!
Suara klakson mobil Tia membuatku berlari-lari kecil.  Seperti biasa, kami berangkat bareng. Kami membelah ramainya lalu lintas pagi, sesekali Tia menoleh ke arahku, tersenyum dengan manisnya.  “Apaan sih?!” aku hendak bertanya namun suaraku tidak keluar, tenggorokanku gatal.  Alih-alih kantor, kami turun di depan rumah kecil yang indah.  Tia membukakan pintu untukku (tumben?).  Bos Besar menyam— eh? dia menggendongku!! apa-apaan ini?!!  Aku mau  protes, dan mulutku hanya menganga tanpa suara saat kulihat pantulan kami di cermin : Bos Besar sedang menggendong Persia Flatnose!!!.

Oh my God!! Apakah ini jawaban dari semua keluh kesahku Tuhan? Akhirnya aku ada di posisi ini, menjadi majikan dan tidak perlu khawatir akan kesejahteraan, kelangkaan bahan bakar, dan segala problematika dunia.  Aku melompat dari lengan Bos Besar, berlari-lari mengitari ruangan, memastikan kembali identitasku di depan cermin.  ya ampun, imutnya aku… kugerakkan ekorku dengan gemas, kulihat wajahku sekali lagi… oh! wajahku menjadi sangat cantik dengan hidung mini yang sempat membuatku insecure.   

Tia dan Bos Besar terlihat sangat senang.  “Makasih ya sayang” katanya sambil memeluk Tia hangat.  Hah? Tia? Bos Besar? Sejak kapan mereka saling menyayangi??  Aku menyeringai “eeeoonggg eongg eonggg (huh. padahal aku ingin meledek: ternyata kalian pacaran ya??!!).  Bos Besar, eh, Babu Besar mungkin mengira aku lapar.  Sebelum pergi ia datang membawakanku semangkuk makanan.

Aku mencicipi sedikit makanan kucing di mangkok lucu ini, enak bangeeettt!!! Aromanya mantap betul!! Sepertinya menu mahal. Ah, akhirnya aku bisa diet low carb high protein, aku makan nanti aja deh, perutku belum lapar-lapar amat.  Aku berlari kecil ke teras belakang rumah, wah… tempat ini bermandikan matahari.  Segar.  Sepertinya di pojok teras adalah singgasana yang telah disiapkan Babu Besar untukku.  Aku mencobanya, hmmm lembut.   Sayup-sayup aku mencium aroma mawar, wah.. ternyata aroma pasir dalam litter box, kamar kecilku istimewa.  

Aku berkenalan dengan belalang, capung, dan kupu-kupu, kusampaikan aku ingin bermain bersama kapan-kapan. Aku juga bilang pada cicak untuk menjaga jarak bila tidak ingin menjadi mangsaku (huft, padahal sebenarnya mereka membuatku geli).  Dari atas pagar, ada cowok ngajak kenalan.  Dia Moggies, yang menyarankanku untuk menciprat-cipratkan pipisku sebagai teritori wilayah.  Wah! Itu perilaku menyebalkan.  Aku memprotesnya, kami berdiskusi panas, yang membuat si Moggies kemudian lari terbirit-birit setelah Bibi ART (aku belum tau siapa namanya) menyiramnya dengan segayung air.  Melerai kami.  Aku terbahak.  Agendaku selanjutnya hari ini, mencoba ngegym di cat tree.  Kalau sempat, aku juga mau berkenalan dengan para burung dan mudah-mudahan mereka bersedia diundang untuk konser kecil di rumah Babu Besar sore nanti.   

Aduhai, senin ini indah sekali

------------

Cerpen kedua, ditulis untuk Elzahracademy dalam tantangan menulis dengan tema Menjadi sesuatu di luar dirimu—tanpa batas logika.


Minggu, Agustus 03, 2025

Deklarasi

Beberapa waktu belakangan sedang asyik mengikuti komunitas buku. Dan dengan ini aku jadi punya cita-cita baru : ingin penjadi penulis!!
Walau sudah satu dekade lebih menulis di blog ini, dan mengikuti beberapa kelas menulis yang ternyata sangat random, qodarullah akhirnya aku menemukan kelas yang aku butuhkan. Bahkan aku tidak perlu membayar sepeserpun alias gratis!! Rejeki benerrrr....

Terimakasih ya Allah atas kesempatan untuk belajar dan bertumbuh ini. Semoga kelak tulisan2ku menjadi salah satu pemberat amal baikku. Amin.